Skip to main content

Pembelian masker di Taiwan saat pandemik virus Corona

Taiwan boleh dibilang adalah salah satu negara yang secara masif mampu meredam penyebaran virus Corona. Pada tulisan ini, gw bakal fokus cerita tentang pengalaman beli masker untuk kesekian kalinya di Taiwan. Selepas balik mudik dari Indonesia pada bulan Februari lalu, gw emang udah siap sedia ratusan masker yang gw bawa dari Jogja, just in case, di Taiwan sulit nyarinya. Dan bener aja, begitu balik kesini, Taiwan sedang menggalakan rasionalisasi masker untuk warganya. Intinya setiap orang hanya diperbolehkan membeli maksimum 2 masker dalam tujuh hari. Lalu di akhir Februari, ditingkatkan lagi jadi 3 masker per orang dalam satu minggu. Dalam prakteknya, pembelian diatur berdasarkan nomer ganjil genap resident card. Pada tanggal 9 April (pas ultah gw), ditingkatin lagi jadi 9 masker per orang dalam dua minggu dan pembelian dapat dilakukan kapan saja dalam sepekan. Meskipun gw sejatinya bisa bertahan dengan masker-masker dari Indo sampai, at least, 6 bulan ke depan, tapi pada akhir Maret, gw memutuskan untuk mencoba dan merasakan gimana rasanya beli masker di Taiwan dengan rasionalisasi yang ada.

Canggihnya negara ini adalah sistem kesehatannya yang sudah terdigitalisasi. Kalau gw mau beli masker, gw tinggal search aplikasi / website yang menampilkan apotek mana yang deket sama gw tinggal, berapa jaraknya, berapa jumlah masker yang terjual, berapa jumlah masker yang tersisa, hari apa aja buka, jam berapa aja pembelian masker mulai dilayani (setiap apotek beda beda), dan jam berapa melayani penjualan alkohol sanitizer. Ada dua website yang gw coba: ini dan ini. Website pertama dipakai buat pencarian apotek secara regional, se-Taiwan bisa keliatan. Website kedua dipakai buat pencarian apotek secara local, radius 3 km dari posisi kita.

Kali pertama gw beli masker, gw memutuskan nyoba salah satu apotek di pusat kota Zhongli. Dikelilingi toko pakaian dan sepatu, apotek ini nyempil nyaris ngga keliatan di antara ramainya jalanan. Lokasi apotek ini sekitar 5km dari tempat gw tinggal. Tiga masker tersebut dikemas dalam sebuah amplop seharga 15NTD/amplop. Pembelian dilayani sejak pukul 2 siang. Menurut  website di atas, ada 700 amplop (=2100 masker) yang tersedia di apotek ini. Menariknya, meskipun permintaan masker masih tinggi, tetapi pembelian di apotek ini keliatan santuy sepi pas gw nyampe jam 3 lewat. Cara pembeliannya tinggal bawa kartu askes Taiwan dan bayar tunai. Ngga sampai 1 menit, gw udah keluar lagi dengan amplop masker tersebut.
 

 Apotek pertama yang gw kunjungin (yang berwarna hijau)


Penampakan si amplop isi 3 masker

Seminggu kemudian, gw membeli lagi amplop yang sama. Tapi kali ini dari apotek dekat kampus. Jarak cuma 800 meter dari tempat tinggal. Ngga sempet ambil foto karena lokasi apotek ini pas di pertigaan dengan intensitas kendaraan tinggi. Masih 1 amplop isi 3. Harga masih 15 NTD. Pelayanan masih < 1 menit kelar.


Penampakan apotek kedua (sumber gambar: gmaps)

Seminggu kemudian, yang which is hari ini, gw beli masker untuk ketiga kalinya. Pada minggu ini juga aturan lo bisa beli masker kapan aja dan satu amplop isinya 9 masker, not 3, udah berlaku.  Harganya juga 3 kali dari sebelumnya (karena isi 9 kan), yakni 45NTD. Sempet ragu terkait dimana gw harus beli, karena browsing dari dua websites diatas nemuin tren kalau tingkat pembelian masker di semua apotek sangat tinggi, bisa ludes dalam waktu 1 jam. Sedangkan pada aturan yang sebelumnya, baru ludes mungkin dalam waktu 6-8 jam. Akhirnya gw niatkan mampir ke apotek pertama yang lokasinya di tengah kota. Ini memberikan alternatif buat gw karena banyaknya apotek lainnya yang deketan, semisal apotek gw kehabisan masker / gwnya apes ngga kebagian. Sama seperti sebelumnya, apotek ini melayani penjualan sejak jam 2 siang. Jam 2 kurang 10 uda nyampe area belakang apotek, tapi memutuskan buat leyeh-leyeh dulu, capek. Jam 2 tepat langsung menuju apotek, disambut puluhan manusia udah mengular antri dengan rapinya. Udah gw duga sih bakal antri, yah okelah dateng jam 2 tepat. Sekitar 5 menit kemudian ada mbak mbak apotek yang bagiin nomer urut pembelian dan konfirmasi jumlah pembelian amplop.


Antriannya panjang banget, sampe belok 1 blok


Nomer antri 90 gw, dateng tepat jam 2. Bayangin no antri 1 dateng jam berapa?

Terlihat 25 orang ngantri di belakang gw selepas 15 menit kemudian. Sebagian ada yang beli 2 amplop, lainnya ada yang beli 3 amplop. Gw cuma beli 1 amplop aja. Setelah nunggu 30 akhirnya gw masuk ke area apotek. Tertibnya masyarakat Taiwan terlihat dari betapa mereka jaga jarak, mulai dari antri sampai pembelian.


Taiwan tertib. Mbak baju merah adalah antrian 88, ibu jaket biru adalah antrian 89. Lihat jarak gw-ibu-mbak itu.

Setibanya giliran gw masuk ke kasir, gw cuma ngasih 45NTD, kartu askes, en nomer antrian. Ngga sampai 20 detik kemudian gw dikasih balik kartu askesnya dan amplop berisi 9 masker. Sangat efisien. Tepat pukul 2.33 siang gw keluar dari apotek. Pada saat gw mau balik kampus sekitar pukul 2.50 siang naik bis, gw melewati apotek itu lagi. Keliatan yang orang antrian terakhir hampir sampai bibir pintu apotek, yang artinya 1055 amplop (=9495 masker) yang tersedia habis dalam waktu kurang dari 60 menit.


Daleman amplop isi 9 masker

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Why I hate stereotypes ?

I hate stereotypes. Why? Because it will drag you to become narrow minded in the way of your senses to respect a community. Some people called me terrorist, because I am moslem. Some people called me second level residence, because I am Asian. Some people called me nerd, because I don't drink and don't do shit. Stereotyping and generalization are the basic human being’s reaction. It’s subconscious and is triggered and formed based on our background, education, culture, social upbringing, etc. We can’t help it. And the judgment is personal, individual. Stereotyping is practiced by everyone about other communities or segments of the same community. Although I hate it, stereotypes are inherent to human nature, and for good reason. We are all stereotypical of fire. We don’t touch it because we know it will burn us. We are told never to touch snakes because they are poisonous. So aren’t we being stereotypical when we don’t go near these things? Aren’t we being stereotypical when

Tipe Tipe Dosen Penguji Skripsi

Menurut saya menonton sidang skripsi itu seru dan penting. Seru, karena kita jadi bisa melihat muka nelangsa teman teman kita yang sedang asik dibantai para dosen penguji. Tentu sebagai seseorang yang pernah pendadaran, saya mengerti rasanya tekanan saat sidang dimana sejuta umat manusia  beberapa dosen menguji hipotesis dan hasil penelitian saya. Ibarat dosen penguji adalah pemain liga voli, maka mahasiswa yang sidang adalah bola volinya: sering dioper sana sini dalam kebimbangan dan kegalauan.  Penting buat ditonton karena  sidang skripsi mengajarkan kepada kita bagaimana cara ngeles ala orang berpendidikan. Itu juga adalah momen dimana kita berhak memperjuangkan title geophysicist  tanpa perlu bayar SPP dan BOP saben semesternya lagi. Selain itu penting juga buat belajar dari kesalahan orang lain saat sidang supaya kesalahan sama ngga terulang. Namun, namanya lulus sidang skripsi itu susah susah gampang. Salah satu faktor penentunya adalah dosen penguji. Berikut adalah

Review Beberapa Sidang Skripsi (Part 1)

Kalau di postingan sebelumnya sempat ngebahas tentang karakter dosen penguji skripsi, kali ini saya mau fokus me- review  sidang skripsi yang saya tonton dalam 3 bulan terakhir.  Memang sejak kembali ke Indonesia, ada sekitar delapan sidang skripsi S1, dimana lima diantaranya saya tonton. Alhamdulillah delapan mahasiswa ini lulus semua ~ ngga ada yang ngulang. Tiga sidang skripsi yang ngga saya tonton adalah sidangnya Kris'GF07, Gondes'GF06 dan Pai'GF06 - dan sumpah nyesel banget. Terutama skripsi Gondes yang konon dia merangkai dan membuat seismogram sendiri, dipasang di gunung Merapi sendiri, datanya diakusisi sendiri, hasilnya diolah sendiri, diinterpretasi sendiri. Bahkan instrumen seismogram yang dia pasang di gunung Merapi katanya uda hilang ditelan material vulkanik letusan besar tahun 2010 kemarin. Ebuset. Itu butuh pengorbanan waktu dan stamina banget lah.  He embraced the philosophy of being a geophysicist. Sangat asolole. Review yang akan saya berikan t